Perjalanan alkulturasi Etnis Tionghoa dan Hindu di Desa Batur kerap kali dikaitkan dengan salah satu seni pertunjukan, seni pertunjukan tersebut adalah "Barong Landung". Keberadaan Barong Landung sering dikaitkan dengan legenda permasuri Raja Jayapangus dengan seorang putri Cina.
Di ceritakan ketika Prabu Sri Jayapangus, Raja Kerajaan Balingkang jatuh cinta dengan seorang wanita Cina bernama Kang Ching Wie, putri seorang saudagar Cina. Sang raja akhirnya menimang Kang Ching Wie menjandi permaisuri. Digelarlah upacara pernikahan yang amat megah.
Namun seorang pendeta kerajaan yang bernama Mpu Siwa Gamma menganggap pernikahan ini tidak boleh dilaksanakan karena akan menyebabkan malapetaka, namun Sang Raja tidak menghiraukanya. Bertahun-tahun setelah pernikahan Sri Jayapangus dan Kang Ching Wie, mereka belum juga di karuniai anak. Sehingga Raja memutuskan pergi meninggalkan kerajaan menuju Gunung Batur untuk mencari pencerahan.
Ketika Sri Jayapangus bermeditasi di kaki Gunung Batur, ia bertemu dengan Dewi penguasa Danau Batur, yakni Dewi Danu. Sri Jayapangus terkesima melihat kecantikan Dewi Danu, ia mengaku masih bujang lalu menikahi Dewi Danu. Setelah bertahun-tahun kepergiannya, Sang Raja tak kunjung kembali. Sehingga Kang Ching Wie pergi berkelana untuk mencari suaminya.
Ketika sampai di tepi Danau Batur, Kang Ching Wie melihat Raja Sri Jayapangus dan Dewi Danu sedang bermesraan. Melihat kenyataan itu, Kang Ching Wie merasa sakit hati, lalu menyerang Dewi Danu dan menyebutnya wanita jalang. Namun Dewi Danu tidak tau bahwa Sang Raja sudah beristri, beliau merasa tertipu dan sangat terhina.
Dewi Danu murka, ia mengerahkan seluruh makhluk halus penghuni Danau Batur untuk menyerang Kang Ching Wie. Melihat hal itu Sri Jayapangus memohon ampun kepada Dewi Danu, namun sayangnya kemarahan Dewi Danu sudah tidak dapat di bendung lagi. Dengan kekuatannya Dewi Danu menghapuskan kedua pasangan itu menjadi abu.
Berita tentang tewasnya Sri Jayapangus dan Kang Ching Wie menyebabkan luka yang sangat mendalam bagi rakyat Kerajaan Balingkang. Hal ini membuat Dewi Danu tersadar telah berbuat kesalahan. Dewi Danu menitahkan rakyat Balingkang membuat sepasang arca lelaki dan perempuan sebagai simbol pemimpin mereka, serta mencampurkan abu Sri Jayapangus dan Kang Ching Wie ke arca tersebut. Arca inilah yang hingga kini dipersonifikasiakan sebagai Barong Landung.
Perkembangan tradisi alkuturasi budaya Hindu dan Buddha tidak dapat dilepaskan sejak pernikahan antara Raja Jayapangus dan Kang Ching Wie. Hal ini dibuktikan dari umat Hindu yang menggunakan uang kepeng atau yang lebih dikenal dengan sebutan "pis bolong" (uang bolong) dalam setiap upacara atau piodalan.
Perkembangan alkulturasi ini juga terjadi di Desa Batur yang dibuktikan dengan keberadaang Kongco yang lazimnya sebagai tempat beribadah umat Buddha di Pura Ulun Danu Batur. Adapun dewa yang berstana di Kongco Batur yakni Ratu Gede Ngurah Subandar, sebagaimana diketahui Tuan Subandar sebagai pengusaha asal Tiongkok yang juga ayah dari Kang Ching Wie.
Masyarakat di Desa Batur percaya bahwa sebagai manifestasi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Ida Bhatari Dewi Danu sebagai dewanya di bidang pertanian dan perkebunan. Dewi Danu merupakan penguasa Danau Batur yang airnya dipakai oleh masyarakat untuk mengairi lahan pertanian dan perkebunan. Sementara Ida Bhatara Ratu Gede Ngurah Subandar sebagai dewanya di bidang usaha dan perekonomian.